Rabu, 13 Februari 2013

SDM



SDM yang berhak mengurus zakat 

tata cara berzakat

Kalau kita boleh menghayal punya baitulmal yang mengurus zakat, maka syaratnya harus mulai dari SDMnya terlebih dahulu.
 semuapegawainya bukan pegawai negeri biasa. Mereka haruslah lulusan dari Sekolah Tinggi Ilmu Managemen Zakat Negeri (STIMZN) yang spesifik. Sehingga dari segi konsep dan ilmu tentang zakat sudah teruji.
Sekolah Tinggi Manajemen Zakat Negara itu tidak menerima mahasiswa kecuali siswa yang juara minimal 10 besar dari masing-masing SMU/Aliyah dariseluruh Indonesia. Syarat masuknya bukan sekedar bisa baca Al-Quran, tapi minimal hafal Quran 3 juz. Test masuk dengan wawancara menggunakan bahasa Arab lisan.
Selama kuliah 8 semester itu, mereka 'dijejali' dengan dasar ilmu syariah. Ilmu-ilmu itu disampaikan oleh para Doktor Syariah dari Timur Tengah, sehingga materi memang mau tidak mau disampaikan dalam bahasa Arab yang fasih. Tidak lupa juga, mereka juga harus dijejali dengan Ilmu Manajemen yang bersifat implemantatif, agar nanti ketika bertugas di lapangan, tidak gagap dan bingung.
Tiap semestrer wajib menghafal 1 juz Al-Quran, sehingga ketika lulus mereka telah hafal 3 + 8 = 11 juz Al-Quran. Wajib juga menghafal minimal 1.500 hadits hukum.
Setiap semester yang IP-nya turun di bawah 2, 75 harus dieliminasi alias DO. Apa boleh buat, kita butuh mahasiswa yang serius belajar, bukan sekedar main-main.
Kehidupan mahasiswa di asrama atau rumah kost juga ikut jadi penilaian. Siapa yang tidak ikut shalat wajib berjamaah tanpa udzur syar'i, maka nilainya akan bermasalah. Apalagi kalau sampai ada yang mencuri atau mengambil hak milik orang lain, walau pun cuma sendal jepit butut di masjid, maka dia harus dipulangkan saat itu juga ke kampungnya. Kejujuran menjadi 'nyawa' di kampus itu.
Demikian juga yang pacaran atau berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram, maka harus siap-siap angkat koper.
Karena nantinya mereka akan berhubungan langsung dengan umat, maka mereka dibekali dasar-dasar pelayanan profesional serta beragam ilmu psikologi sosial, termasuk seni budaya. Kita tidak butuh pegawai yang anarkis dan sok kuasa macam di IPDN. Kita butuh pegawai yang selalu memberi pelayanan terbaik buat umat, full senyum, cerdas, melek syariah, mengerti tata pergaulan yang baik, cekatan kerjanya dan tidak doyan duit.
Sebab mereka sudah ditempa untuk menjadi para da'i yang telah menjual dirinya di jalan Allah, lewat pembangunan ekonomi umat.
Siapa pun yang nantinya punya rumah mewah, atau simpananharta berlebih, atau kehidupan mubazir yang tidak jelas asal-usulnya, bisa dengan mudah dipecat dan dipotong tangannya dengan disiarkan langsung lewat reality show di TV Nasional. Perjanjian itu sudah mereka tanda-tangani sejak mendaftar kuliah.

Nah, mari kita menghayal...
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahamtullahi wabarakatuh,

Untuk lebih jelasnya mengenai artikel ini silahkan baca disini

ZAKAT TIJARAH




tata cara berzakat

Pengertian Tijarah Sebagaimana  yang telah disebutkan diatas bahwa kata tijarah menunjukkan dua pengertian; Pertama, aktivitas jual-beli (dagang). Kedua, komoditas (barang dagangan). Dalam konteks zakat, yang dimaksud dengan zakat tijarah adalah zakat yang berkaitan dengan komoditas bukan aktivitas. Dalam perkataan lain, menzakati mal (barang dagangan) bukan amal (aktivitas dagang). Bila demikian halnya apa yang dimaksud dengan barang dagangan  (‘urudh at-tijarah) itu? Imam An-Nawawi mengatakan, “Kekayaan dagang adalah semua yang dimaksudkan untuk diperdagangkan buat pemindahan hak dengan melakukan tukar-menukar barang” Lihat, Fiqhuz Zakat, I:313.
Arti Kata tijarah (perniagaan) secara dalam bahasa merupakan mashdar (akar kata) bagi tajara – yatjuru. Secara bahasa  istilah terdapat sebuah  perbedaan  orientasi(penerimaan).
Kata تِجَارَةٌ (tijarah) secara bahasa merupakan mashdar (dasar kata) bagi تَجَرَ يَتْجُرُ  (tajara – yatjuru). Sedangkan pengertian secara Syariat adalah التَّصَرُّفُ فِي رَأْسِ الْمَالِ طَلَبًا لِلرِّبْحِ ( mengelola modal untuk mencari laba ”. [ Di dalam kitab –kitab fiqh di sebut juga dengan nama bab بَابُ زَكَاةِ العُرُوضِ (zakat al uruudh) ,zakat barang-barang dagangan. Yaitu barang-barang (harta) yang dipersiapkan untuk di perdagangkan. Di karenakan barang-barang tersebut tidak diam begitu saja lalu habis, dan pedagangnya yang sebenarnya tidak menginginkan dzat barang itu sendiri tetapi dia hanya menginginkan laba darinya, oleh sebab itu di wajibkan atasnya zakat karena qimah-nya (nilai barang),bukan sebab dzat barang itu sendiri.
Karena zakat ini berhubungan  dengan barang-barang dagangan (perniagan), maka dalam  hal yang mencakup  tentang  ini bisa  mencakup jenis barang apa saja ( yang halal  ) selama niatnya untuk di dagangkan, misalkan : barang-barang tidak bergerak semisal rumah, tanah, perabotan, atau jenis peralatan dapur, hewan,mobil,kain dan lain sebagainya yang di perdagangkan.
Hukum mengenai  Zakat Tijarah
Kebanyakan para Ulama’ berpendapat wajibnya zakat tijarah, berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
Firman Allah I :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.”(Al Baqarah 267)
Ibnu Katsir ? menafsirkan kalimat كَسَبْ dalam ayat ini dengan perkataan Mujahid t yaitu perdagangan.

Juga dalam Firman Allah I :

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Ad Dariyaat-19).

Rasulullah  pernah berkata pada Muadz bin Jabal t ketika mengutusnya ke Yaman:

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ

Ajarkan kepada mereka bahwasannya Allah I mewajibkan atas mereka untuk mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, yang diambil dari orang-orang kayanya untuk di berikan kepada orang-orang fakirnya.”[3].

Pada ucapan Beliau r في أموالهم (dari harta-harta mereka) tidak diragukan lagi bahwa harta tersebut adalah harta dari dari perdagangan.[4]

Dalil dari Hadits dari Samurah bin Jundab t mengatakan:

فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنِ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ

Sesungguhnya Rasulullah r. memerintah kita untuk mengeluarkan zakat dari barang-barang yang kita sediakan untuk jual-beli.”

Tetapi dalam Hadits ini ada kelemahan.

Demikian juga telah tetap dari Umar bin al Khaththab  ketika beliau memerintahkan seseorang dengan berkata :

عَنْ أَبِي عَمْرِو بْنِ حِمَاسٍ عَنْ أَبِيْهِ قال : مَرَّ بِيْ عُمَرُ فَقَالَ يا حِمَاس أدِّ زَكَاةَ مَالِكَ فَقُلْتُ : مَالِيْ مَالٌ إِلاَّ جِعَابٌ وَ أُدُم ! فَقَالَ : قَوِّمْهَا قِيْمَةً ثُمَّ أدِّ زَكَاتَهَا

"Dari Abi ‘Amr bin Himas dari bapaknya: "Pada suatu hari Umar melewatiku, lalu berkata: “Hai Himas tunaikan zakat hartamu!”. Aku menjawab: “Aku tidak punya harta kecuali kulit dan tempat panah”. Umar berkata: “Taksirlah nilainya lalu tunaikanlah zakat!" [6]

Demikian pula Atsar dari Abdurrahman bin Abdul Qari’ t :  

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ القَارِي قَالَ : كُنْتُ عَلَى بَيْتِ الْمَالِ زَمَانَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَكَانَ إِذَا خَرَجَ الْعَطَاءُ جَمَعَ أَمْوَالَ التُجَّارِ ثُمَّ حَسَبَهَا
  غَائِبَهَا وَ شَاهِدَهَا ثُمَّ أَخَذَ الزَّكَاةَ مِنْ شَاهِدِ الْمَالِ عَنْ الْغَائِبِ وَالشَّاهِدِ

"Aku adalah bendahara baitul maal pada masa Umar bin Khattab, maka jika beliau mengeluarkan pemberian, beliau mengumpulkan harta para pedagang, kemudian menghitung baik yang pedagangnya sedang bepergian, maupun yang muqim lalu mengambil zakat tersebut ". [7]

Syarat dan Ketentuan Zakat Tijarah

Yang perlu  kita ketahui di dalam hal yang meyangkut  zakat tijarah yaitu adanya beberapa syarat dan ketentuan diantaranya :

1.    Di dalam hal kepemilikan  barang harus dengan perbuatannya, yaitu dengan pilihannya sendiri. Maka dalam hal ini tidak termasuk darinya dari penerimaan pemberian atau hadiah dan lain sebagainya yang diluar kehendaknya.

2.    Di dalam memiliki barang dari awalnya sudah diniatkan untuk di perdagangkan(karena niat ada hal yang terpenting di dalam ajaran agama islam ) . Sehingga brang tersebut  tidak termasuk bagi yang membeli barang yang dari awal tidak niat ingin di perdagangkan lalu setelah beberapa lama muncul niatan untuk di perdagangkan. Yang seperti ini tidak wajib zakat menurut pendapat yang masyhur dari beberapa madzhab.

3.    Barang tersebut sudah mencapai nishab yaitu setara dengan harga 85 Kg emas.

4.    Sudah berjalan satu haul ( tahun ).

5.    Di keluarkan 2,5 % dari harta yang terkena wajib zakat.

6.    Bisa dikeluarkan dalam bentuk barang dan uang. Tapi di keluarkan dalam bentuk uang, ini pendapat yang masyhur dari Imam As Syafi’iy dan Imam Ahmad, karena di nilai lebih bermanfaat bagi penerima zakat.
Cara Menghitung Zakat Tijarah

Yang  pertama kali ialah l pastikan harta + modal dagangan kita sudah mencapai nishab yaitu setara dengan nilai 85 gram emas. Misalkan harga emas saat ini Rp. 500.000/gram  maka nishab minimal terkena zakat adalah  Rp. 42.500.000. Jika ternyata harta dagang kita sudah senilai nishab maka catatlah tanggal dan tahunnya.

Jika pada tanggal yang sama di tahun berikutnya harta tersebut tetap atau bertambah nilainya, maka wajib dikeluarkan zakatnya 2,5% setelah di potong hutang.

Untuk lebih mudahnya kita menggunakan rumus :

{Harta dagangan (modal yang diputar) + piutang lancar – Hutang} x 2.5 % = Nilai zakat.
Misal : Harta dagangan (modal yang diputar) = Rp.50.000.000
  Piutang lancar = Rp.10.000.000
  Hutang yang harus di bayar = Rp. 5000.000
Maka nilai zakat yang di keluarkan adalah :
(Rp. 50.000.000 + Rp. 10.000.000)- Rp. 5000.000 x 2,5 % = Rp. 1.375.000

Perlu diperhatikan di dalam cara pengitungan zakat tijarah  :

1.    Piutang yang di syaratkan adalah piutang yang lancar, sedangkan untuk piutang yang tidak lancar maka tidak termasuk didalamnya.

2.    Bahwa bangunan, perabotan dan peralatan yang tidak disiapkan untuk jualan tidak dimasukkan dalam perhitungan aset yang dikeluarkan zakatnya.

3.    Zakat tijarah ini berlaku untuk beberapa jenis bidang usaha, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha seperti PT, CV, Koperasi, dan lain sebagainya. 


 Jika anda ingin mengetahui lebih jelas silahkan baca disini

SYARAT WAJIB ZAKAT



1.       Penjelasan singkat zakat mal

tata cara berzakatAllah Swt  telah memerintahkan  kita  selaku umat muslim yang memilki harta mencapai nisab untuk mengeluarkan zakat hartanya setiap tahun. Ia berikan kepada yang berhak menerima dari kalangan fakir serta selain mereka yang zakat boleh diserahkan kepada mereka sebagaimana telah diterangkan dalam Al Qur’an.

Nishab emas sebanyak 20 mitsqal. Nishab perak sebanyak 200 dirham atau mata uang kertas yang senilai itu. Barang-barang dagangan dengan segala macam jika nilainya telah mencapai nishab wajib pemiliknya mengeluarkan zakatnya manakala telah berlalu setahun. Nishab biji-bijian dan buah-buahan 300 sha’. Rumah siap jual dikeluarkan zakat nilainya. Sedang rumah siap sewa saja dikeluarkan zakat upahnya. Kadar zakat pada emas, perak dan barang-barang dagangan 2,5 % setiap tahunnya. Pada biji-bijian dan buah-buahan 10 % dari yang diairi tanpa kesulitan seperti yang diairi dengan air sungai, mata air yang mengalir atau hujan. Sedang 5 % pada biji-bijian yang diairi dengan susah seperti yang diairi dengan alat penimba air.

Di antara manfaat mengeluarkan zakat menghibur jiwa orang-orang fakir dan menutupi kebutuhan mereka serta menguatkan ikatan cinta antara mereka dan orang kaya.

Penjelasan singkat zakat fitrah

Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan bagi setiap muslim yang mampu menurut ijma’ ulama dan hidup di sebagian bulan Ramadhan dan sebagian bulan Syawal. Maksudnya orang yang meninggal setelah masuk waktu maghrib malam lebaran (malam 1 Syawwal) wajib baginya zakat fitrah (dikeluarkan dari harta peninggalannya). Begitu juga bayi yang dilahirkan sesaat sebelum terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan dan terus hidup sampai setelah terbenamnya matahari malam 1 Syawwal. Dan sebaliknya, orang yang meninggal sebelum terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadhan atau bayi  yang lahir setelah terbenamnya matahari di malam 1 Syawwal tidak diwajibkan baginya zakat fitrah.

Syarat Wajib Zakat Fitrah

1- Muslim
Sesuai dengan hadist dari Ibnu Umra ra “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadan kepada setiap orang muslim, laki laki atau perempuan, merdeka atau hamba sahaya (budak), yaitu satu sha’ kurma atau gandum.” (HR Bukhari Muslim).

2- Merdeka
Zakat tidak wajib bagi hamba sahaya (budak) kecuali zakat fitrah wajib dikeluarkan dan yang mengeluarkannya adalah majikanya. Karena ia termasuk orang yang wajib dinafkahi
Dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda: ”Tidak wajib zakat bagi hamba sahaya (budak), kecuali zakat fitrah” (HR Muslim)

3- Mampu
Orang mampu adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan,  yaitu memiliki nafkah atau belanja bagi dirinya dan orang yang wajib dinafkahi pada hari raya dan malam harinya. Maka ia wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk diri dan keluarganya yang menjadi tanggunganya. Karena kebutuhan peribadi dan keluarganya lebih penting dan harus didahulukan 
Rasulallah saw bersabda: “Mulailah dari dirimu. Maka nafkahilah dirimu. Apabila ada kelebihan, maka peruntukkanlah bagi keluargamu. Apabila masih ada sisa kelebihan (setelah memberikan nafkah) terhadap keluargamu, maka peruntukkanlah bagi kerabat dekatmu.”  (HR. Bukhari Muslim).
Zakat fitrah harus berupa makanan pokok yang dimakan penduduk setempat, dan yang dikeluarkan harus layak dimakan, bukan yang jelek. wajib dikeluarkan bagi setiap muslim sebanyak ukuran satu sha’ yaitu kurang lebih antara 2.75 kg  sampai 3 kg (3.5 liter) dibagikan kepada fakir miskin, seusai dengan hadist yang diriwatkan dari Ibnu Umar ra tersebut diatas dan harus disertai dengan niat.

Syarat sah zakat mal

B. Syarat-syarat yang berkenaan dengan harta benda yang wajib dikeluarkan zakatnya. 

Yang pertama ialah Kepemilikan harta tersebut secara penuh.(tidak ada campur tangan orang lain).

Maksudnya ialah , penguasaan seseorang terhadap sebuah  harta kekayaan  secara sempurna, sehingga bisa menggunakannya secara khusus(di gunakan secara seenaknya ). Atau harta benda itu milik individu dan tidak berkaitan dengan hak orang lain(personal). Karena Allah Ta’ala mewajibkan zakat ketika harta itu sudah dinisbatkan kepada pemiliknya. sebagaimana firman Allah Ta’ala:

 خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا



Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (At-Taubah: 103).

Karena itulah zakat tidak diambil dari harta yang tidak ada pemiliknya secara definitif. Seperti al-fa’i (harta yang diperoleh dari orang kafir tanpa perang), ghanimah (harta rampasan perang), aset negara, kepemilikan umum, dan wakaf khairi. 

kepada pemiliknya yang sah(pemilik awal). Jika tidak ditemukan pemiliknya, maka ia wajib menyalurkan semua hartanya untuk kepentingan kaum muslimin(islam,), tanpa ada satu pun niat bersedekah atau mengharap pahala darinyaAllah SWT. Karena Allah SWT adalah Dzat yang Maha baik, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

Sesungguhnya Allah itu Maha Baik, dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja (dari amalan para hamba-Nya, pent).” (HR. Muslim II/703 no.1015).

Sedangkan persoalan utang  piutang, yang masih ada harapan untuk  kembali, maka pemilik  harta  tersebut harus mengeluarkan zakatnya setiap tahun. Namun jika iatidak ada harapan kembali, karena orang yang berhutang mengalami kesulitan dalam pelunasan hutangnya atau karena sebab lainnya, maka pemilik  piutang hanya berkewajiban zakat pada saat hutang itu dikembalikan dan hanya zakat untuk satu tahun saja meskipun telah lewat beberapa tahun. (Lihat Dalil Al-Irsyaadaat Li Hisab Zakati Asy-Syarikaat, hal.24).
Yang kedua ialah Termasuk harta yang berkembang.

Maksudnya, ialah semua harta yang wajib dikeluarkan zakatnya harus berupa harta yang berkembang aktif, atau siap  unutk berkembang, yaitu harta yang lazimnya memberi keuntungan dan manfaat kepada pemiliknya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Bersabda:

لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ

Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat pada budak dan kudanya.” (HR. Bukhari II/532 

Serta yang terahkir ialah  Nishob harta  itu sudah lebih dari kebutuhan pokok pemiliknya.

Yang dimaksud kebutuhan pokok di ialah suatu  kebutuhan yang jika tidak terpenuhi ia akan mengalami kesulitan, kebinasaan atau bahkan kematian. Seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, alat kerja, alat perang, dan bayar hutang. Jika ia memiliki harta dan dibutuhkan untuk keperluan ini, maka ia tidak wajib zakat. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ

Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.” (QS. Al-Baqarah: 219). 

Yang dimaksud Al-afwu dalam ayat di atas adalah yang lebih dari kebutuhan keluarga, seperti yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dan kebanyakan ulama tafsir. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir pada ayat tersebut). Kebutuhan dasar itu mencakup kebutuhan pribadi dan yang menjadi tanggung jawabnya seperti isteri, anak, orang tua, kerabat yang dibiayai. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى

Sebaik-baik sedekah (zakat) ialah yang dikeluarkan dari apa yang telah melebihi kebutuhan pokok.” (HR. Bukhari II/518 no. 1360, dan Muslim II/717 no.1034.

Dalam hal ini para ulama telah sepakat bahwa apabila hutangnya tidak mengurangi nishob, maka ia berkewajiban mengeluarkan zakat pada semua harta kekayaannya yang telah mencapai nishob, baik emas, perak, perdagangan, hewan ternak maupun hasil pertanian.

Adapun jika hutangnya menggugurkan atau mengurangi nishob, maka telah terjadi silang pendapat diantara mereka. Namun pendapat yang nampak rajih (kuat) menurut kami adalah pendapat yang menyatakan bahwa hutang tidak menghalangi seseorang dari kewajibannya mengeluarkan zakat. Ini adalah pendapat imam Syafi’i (pendapat terakhir beliau), sebagian ulama pengikut madzhab Syafi’i, imam Ahmad (dalam satu pendapat beliau), madzhab zhahiri, dan merupakan pendapat yang dipegangi oleh syaikh Abdul Aziz bin Baz dan syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Di antara alasan-alasan mereka adalah sebagai berikut:

(1) Keumuman dalil-dalil yang mewajibkan zakat pada harta, diantaranya firman Allah Ta’la:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)

(2) Tidak ada satu dalil pun dari Al-Qur’an, As-Sunnah maupun Ijma’ para ulama yang menggugurkan kewajiban zakat pada harta yang diperoleh dari hutang.

(3) Tidak ada satu riwayat pun yang menunjukkan bahwa para amil zakat di zaman Nabi yang bertugas memungut zakat bertanya kepada pemilik harta yang telah mencapai nishob, apakah ia mempunyai hutang atau tidak. Demikian pula Nabi tidak pernah memerintahkan mereka agar menanyakan hal itu, padahal kebanyakan para petani di zaman itu terbiasa berhutang (pinjam modal) dalam tempo satu atau dua tahun.

(4) Bahwa zakat merupakan kewajiban pada harta, sebagaimana dalam wasiat Nabi kepada


Untuk lebih jelasnya mengenai blog ini silahkan KLIK DISINI